Recent post
Archive for Juli 2014
Kisah Suku Minangkabau
Minangkabau atau yang biasa disingkat Minang adalah
kelompok etnik Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat
Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat,
separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, pantai
barat Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di
Malaysia. Dalam percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan
sebagai orang Padang,
merujuk kepada nama ibukota provinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang.
Namun, masyarakat ini biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak (bermaksud sama dengan orang Minang itu sendiri).
Menurut
A.A. Navis, Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun
Melayu yang tumbuh dan besar karena sistem monarki, serta menganut
sistem adat yang khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui
jalur perempuan atau matrilineal, walaupun budayanya juga sangat kuat
diwarnai ajaran agama Islam, sedangkan Thomas Stamford Raffles, setelah
melakukan ekspedisi ke pedalaman Minangkabau tempat kedudukan Kerajaan
Pagaruyung, menyatakan bahwa Minangkabau adalah sumber kekuatan dan asal
bangsa Melayu, yang kemudian penduduknya tersebar luas di Kepulauan
Timur.
Saat
ini masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut matrilineal
terbesar di dunia. Selain itu, etnik ini juga telah menerapkan sistem
proto-demokrasi sejak masa pra-Hindu dengan adanya kerapatan adat untuk
menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum. Prinsip adat
Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan Adat basandi syarak,
syarak basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan
Al-Qur’an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam.
Orang
Minangkabau sangat menonjol di bidang perniagaan, sebagai profesional
dan intelektual. Mereka merupakan pewaris terhormat dari tradisi tua
Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang dan dinamis. Hampir
separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam
perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar,
seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan
Surabaya. Di luar wilayah Indonesia, etnis Minang banyak terdapat di
Negeri Sembilan, Malaysia dan Singapura.
Masyarakat
Minang memiliki masakan khas yang populer dengan sebutan masakan
Padang, dan sangat digemari di Indonesia bahkan sampai mancanegara.
Etimologi
Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau.
Nama itu dikaitkan dengan suatu legenda khas Minang yang dikenal di
dalam tambo. Dari tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu
kerajaan asing (biasa ditafsirkan sebagai Majapahit) yang datang dari
laut akan melakukan penaklukan. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat
setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut
menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif,
sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau yang lapar.
Dalam pertempuran, anak kerbau yang lapar itu menyangka kerbau besar
tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari mencari
susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut.
Kemenangan itu menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau, yang berasal dari ucapan “Manang kabau” (artinya menang kerbau). Kisah tambo ini juga dijumpai dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan juga menyebutkan bahwa kemenangan itu menjadikan negeri yang sebelumnya bernama Periaman (Pariaman) menggunakan nama tersebut. Selanjutnya penggunaan nama Minangkabau juga
digunakan untuk menyebut sebuah nagari, yaitu Nagari Minangkabau, yang
terletak di kecamatan Sungayang, kabupaten Tanah Datar, provinsi
Sumatera Barat.
Dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit, Nagarakretagamatahun 1365 M, juga telah ada menyebutkan nama Minangkabwa sebagai salah satu dari negeri Melayu yang ditaklukannya.
Sedangkan
nama “Minang” (kerajaan Minanga) itu sendiri juga telah disebutkan
dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 682 Masehi dan berbahasa Sanskerta.
Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa pendiri kerajaan Sriwijaya yang
bernama Dapunta Hyang bertolak
dari “Minānga”. Beberapa ahli yang merujuk dari sumber prasasti itu
menduga, kata baris ke-4 (…minānga) dan ke-5 (tāmvan….) sebenarnya
tergabung, sehingga menjadi mināngatāmvan dan diterjemahkan dengan makna sungai kembar. Sungai kembar yang dimaksud diduga menunjuk kepada pertemuan (temu) dua sumber aliran Sungai Kampar, yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Namun pendapat ini dibantah oleh Casparis, yang membuktikan bahwa “tāmvan” tidak ada hubungannya dengan “temu”, karena kata temu dan muara juga dijumpai pada prasasti-prasasti peninggalan zaman Sriwijaya yang lainnya. Oleh karena itu kata Minanga berdiri sendiri dan identik dengan penyebutan Minang itu sendiri.
Asal-usul
Dari
tambo yang diterima secara turun temurun, menceritakan bahwa nenek
moyang mereka berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain. Walau tambo
tersebut tidak tersusun secara sistematis dan lebih kepada legenda
berbanding fakta serta cendrung kepada sebuah karya sastra yang sudah
menjadi milik masyarakat banyak. Namun demikian kisah tambo ini sedikit
banyaknya dapat dibandingkan dengan Sulalatus Salatin yang juga
menceritakan bagaimana masyarakat Minangkabau mengutus wakilnya untuk
meminta Sang Sapurba salah seorang keturunan Iskandar Zulkarnain
tersebut untuk menjadi raja mereka.
Masyarakat Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu
Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau
Sumatera sekitar 2.500-2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok
masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran
sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung halaman orang Minangkabau. Beberapa kawasan darek ini kemudian membentuk semacam konfederasi yang dikenal dengan nama luhak, yang selanjutnya disebut juga dengan nama Luhak nan Tigo, yang terdiri dari Luhak Limo Puluah, Luhak Agam, dan Luhak Tanah Datar. Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, daerah luhak ini menjadi daerah teritorial pemerintahan yang disebut afdeling, dikepalai oleh seorang residen dan oleh masyarakat Minangkabau disebut dengan nama Tuan Luhak.
Sementara
seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk, masyarakat
Minangkabau menyebar ke kawasan darek yang lain serta membentuk beberapa
kawasan tertentu menjadi kawasanrantau.
Konsep rantau bagi masyarakat Minang merupakan suatu kawasan yang
menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai
tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau
dikenal dengan Rantau nan duo terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).
Pada
awalnya penyebutan orang Minang belum dibedakan dengan orang Melayu,
namun sejak abad ke-19, penyebutan Minang dan Melayu mulai dibedakan
melihat budaya matrilineal yang tetap bertahan berbanding patrilineal
yang dianut oleh masyarakat Melayu umumnya.Kemudian pengelompokan ini
terus berlangsung demi kepentingan sensus penduduk maupun politik.
Persukuan
Suku
dalam tatanan Masyarakat Minangkabau merupakan basis dari organisasi
sosial, sekaligus tempat pertarungan kekuasaan yang fundamental.
Pengertian awal kata suku dalam Bahasa Minang dapat bermaksud satu per-empat,
sehingga jika dikaitkan dengan pendirian suatu nagari di Minangkabau,
dapat dikatakan sempurna apabila telah terdiri dari komposisi empat suku
yang mendiami kawasan tersebut. Selanjutnya, setiap suku dalam tradisi
Minang, diurut dari garis keturunan yang sama dari pihak ibu, dan
diyakini berasal dari satu keturunan nenek moyang yang sama.
Selain
sebagai basis politik, suku juga merupakan basis dari unit-unit
ekonomi. Kekayaan ditentukan oleh kepemilikan tanah keluarga, harta, dan
sumber-sumber pemasukan lainnya yang semuanya itu dikenal sebagai harta
pusaka. Harta pusaka merupakan harta milik bersama dari seluruh anggota
kaum-keluarga. Harta pusaka tidak dapat diperjualbelikan dan tidak
dapat menjadi milik pribadi. Harta pusaka semacam dana jaminan bersama
untuk melindungi anggota kaum-keluarga dari kemiskinan. Jika ada anggota
keluarga yang mengalami kesulitan atau tertimpa musibah, maka harta
pusaka dapat digadaikan.
Suku terbagi-bagi ke dalam beberapa cabang keluarga yang lebih kecil atau disebut payuang (payung). Adapun unit yang paling kecil setelah sapayuang disebut saparuik. Sebuah paruik (perut) biasanya tinggal pada sebuah rumah gadang secara bersama-sama.
Daftar Suku Minangkabau
Seperti etnis lainnya, dalam etnis Minangkabau terdapat banyak klan yang disebut dengan istilah suku.
Menurut tambo alam Minangkabau, pada masa awal pembentukan budaya
Minangkabau oleh Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang,
hanya ada empat suku induk dari dua kelarasan. Suku-suku tersebut adalah.
- Suku Koto
- Suku Piliang
- Suku Bodi
- Suku Caniago
Sedangkan kelarasan yang dimaksud adalah kelarasan koto piliang dan kelarasan bodi caniago,
kelarasan disini semacam sistem kekuasaan, dan dalam perkembangannya
kelarasan koto piliang cendrung kepada sistem aristokrat sedangkan
kelarasan bodi caniago lebih kepada sistem konfederasi.
Dan
jika melihat dari asal kata dari nama-nama suku induk tersebut, dapat
dikatakan kata-kata tersebut berasal dari bahasa Sanskerta, sebagai
contoh koto berasal dari kata kotto yang berarti benteng atau kubu, piliang berasal dari dua kata phi dan hyang yang digabung berarti pilihan tuhan, bodi berasal dari kata bodhi yang berarti orang yang terbangun, dan caniago berasal dari dua kata chana dan ago yang berarti sesuatu yang berharga.
Demikian
juga untuk suku-suku awal selain suku induk, nama-nama suku tersebut
tentu berasal dari bahasa Sanskerta dengan pengaruh agama Hindu dan
Buddha yang berkembang disaat itu. Sedangkan perkembangan berikutnya
nama-nama suku yang ada berubah pengucapannya karena perkembangan bahasa
minang itu sendiri dan pengaruh dari agama Islam dan
pendatang-pendatang asing yang tinggal menetap bersama.
Suku-suku
dalam Minangkabau pada awalnya kemungkinan ditentukan oleh raja
Pagaruyung, namun sejak berakhirnya kerajaan Pagaruyung tidak ada lagi
muncul suku-suku baru di Minangkabau.
Asal Usul Danau Maninjau
Danau Maninjau adalah sebuah danau vulkanik yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera
Barat, Indonesia. Danau dengan luas sekitar 99,5 km2 dengan kedalaman
mencapai 495 meter ini merupakan danau terluas kesebelas di Indonesia,
dan terluas kedua di Sumatera Barat. Menurut cerita, Danau Maninjau pada awalnya merupakan gunung
berapi yang di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas. Oleh karena
ulah manusia, gunung berapi itu meletus dan membentuk sebuah danau yang
luas. Apa gerangan yang menyebabkan gunung berapi itu meletus dan
berubah menjadi danau? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita asal usul Danau Maninjau berikut ini!
Alkisah, di sebuah daerah di Sumatra
Barat ada sebuah gunung berapi yang amat tinggi bernama Gunung Tinjau.
Di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas, dan di kakinya terdapat
beberapa perkampungan. Penduduknya hidup makmur dan sejahtera, karena
mereka sangat rajin bertani. Di samping itu, tanah yang ada di sekitar
Gunung Tinjau amat subur, karena sering mendapat pupuk alami berupa abu
gunung.
Di salah satu perkampungan di kaki
Gunung Tinjau itu tinggal sepuluh orang bersaudara yang terdiri dari
sembilan lelaki dan seorang perempuan. Penduduk sekitar biasa memanggil
mereka Bujang Sembilan. Kesepuluh orang bersaudara tersebut adalah
Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan
lelaki termuda bernama Kaciak. Sementara adik mereka yang paling bungsu
adalah seorang perempuan bernama Siti Rasani, akrab dipanggil Sani.
Kedua orangtua mereka sudah lama meninggal, sehingga Kukuban sebagai anak sulung menjadi kepala rumah tangga. Semua keputusan ada di tangannya.
Kesepuluh bersaudara tersebut tinggal di
sebuah rumah peninggalan kedua orangtua mereka. Untuk memenuhi
kebutuhannya, mereka menggarap lahan pertanian yang cukup luas warisan
kedua orangtua mereka. Mereka sangat terampil bertani, karena mereka
rajin membantu ayah dan ibunya ketika keduanya masih hidup. Di samping
itu, mereka juga dibimbing oleh paman mereka yang bernama Datuk
Limbatang, yang akrab mereka panggil Engku.
Datuk Limbatang adalah seorang mamak di
kampung itu dan mempunyai seorang putra yang bernama Giran. Sebagai
mamak, Datuk Limbatang memiliki tanggungjawab besar untuk mendidik dan
memerhatikan kehidupan warganya, termasuk kesepuluh orang kemenakannya
tersebut. Untuk itu, setiap dua hari sekali, ia berkunjung ke rumah
Kukuban bersaudara untuk mengajari mereka keterampilan bertani dan
berbagai tata cara adat daerah itu. Tak jarang pula Datuk Limbatang
mengajak istri dan putranya ikut serta bersamanya.
Pada suatu hari, ketika Datuk Limbatang
bersama istri dan Giran berkunjung ke rumah Bujang Sembilan, secara
tidak sengaja Sani saling berpandangan dengan Giran. Rupanya, kedua
pemuda dan gadis itu sama-sama menaruh hati. Giran pun mengajak Sani
untuk bertemu di sebuah ladang di pinggir sungai. Dengan hati berdebar, Giran pun mengungkapkan perasaannya kepada Sani.
“Sudah lama merendam selasih
Barulah kini mau mengembang
Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini mau mengembang
Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini bertemu pandang”
“Telah lama orang menekat
Membuat baju kebaya lebar
Sudah lama abang terpikat
Hendak bertemu dada berdebar”
Membuat baju kebaya lebar
Sudah lama abang terpikat
Hendak bertemu dada berdebar”
“Rupa elok perangaipun cantik
Hidupnya suka berbuat baik
Orang memuji hilir dan mudik
Siapa melihat hati tertarik”
Hidupnya suka berbuat baik
Orang memuji hilir dan mudik
Siapa melihat hati tertarik”
“Dik, Sani! Wajahmu cantik nan elok, perangai baik nan berhati lembut. Maukah engkau menjadi kekasih Abang?” tanya Giran.
Pertanyaan itu membuat jantung Sani
berdetak kencang. Dalam hatinya, ia juga suka kepada Giran. Maka ia pun
membalasnya dengan untaian pantun.
“Buah nangka dari seberang
Sedap sekali dibuat sayur
Sudah lama ku nanti abang
Barulah kini dapat menegur”
Sedap sekali dibuat sayur
Sudah lama ku nanti abang
Barulah kini dapat menegur”
“Jika roboh kota Melaka
Papan di Jawa saya tegakkan
Jika sungguh Kanda berkata
Badan dan nyawa saya serahkan”
Papan di Jawa saya tegakkan
Jika sungguh Kanda berkata
Badan dan nyawa saya serahkan”
Alangkah senang hati Giran mendengar jawaban dari Sani. Ia benar-benar merasa bahagia karena cintahnya bersambut.
Maka sejak itu, Giran dan Sani menjalin
hubungan kasih. Pada mulanya, keduanya berniat untuk menyembunyikan
hubungan mereka. Namun karena khawatir akan menimbulkan fitnah, akhirnya
keduanya pun berterus terang kepada keluarga
mereka masing-masing. Mengetahui hal itu, keluarga Giran dan Sani pun
merasa senang dan bahagia, karenahal tersebut dapat mempererat hubungan
kekeluargaan mereka. Sejak menjalin hubungan dengan Sani, Giran
seringkali berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Bahkan, ia sering
membantu Bujang Sembilan bekerja di sawah.
Ketika musim panen tiba, semua penduduk
kampung memperoleh hasil yang melimpah. Untuk merayakan keberhasilan
tersebut, para pemuka adat dan seluruh penduduk bersepakat untuk
mengadakan gelanggang perhelatan, yaitu adu ketangkasan bermain silat.
Para pemuda kampung menyambut gembira acara tersebut. Dengan semangat
berapi-api, mereka segera mendaftarkan diri kepada panitia acara. Tidak
ketinggalan pula Kukuban dan Giran turut ambil bagian dalam acara
tersebut.
Pada hari yang telah ditentukan, seluruh
peserta berkumpul di sebuah tanah lapang. Sorak sorai penonton pun
terdengar mendukung jagoannya masing-masing. Beberapa saat kemudian,
panitia segera memukul gong pertanda acara dimulai. Rupanya, Kukuban
mendapat giliran pertama tampil bersama seorang lawannya dari dusun
tetangga. Tampak keduanya saling berhadap-hadapan di tengah arena untuk
saling adu ketangkasan. Siapa pun yang menang dalam pertarungan itu,
maka dia akan melawan peserta berikutnya. Ternyata, Kukuban berhasil
mengalahkan lawannya. Setelah itu, peserta berikutnya satu per satu
masuk ke arena gelanggang perhelatan untuk melawan Kukuban, namun belum
seorang pun yang mampu mengalahkannya. Masih tersisa satu peserta lagi
yang belum maju, yakni si Giran. Kini, Kukuban menghadapi lawan yang
seimbang.
“Hai, Giran! Majulah kalau berani!” tantang Kukuban.
“Baiklah, Bang! Bersiap-siaplah menerima seranganku!” jawab Giran dan langsung menyerang Kukuban.
Maka terjadilah pertarungan sengit
antara Giran dan Kukuban. Mulanya, Giran melakukan serangan secara
bertubi-tubi ke arah Kububan, namun semua serangannya mampu dielakkan
oleh Kukubun. Beberapa saat kemudian, keadaan jadi terbalik. Kukuban
yang balik menyerang. Ia terus menyerang Giran dengan jurus-jurus
andalannya secara bertubi-tubi. Giran pun terdesak dan kesulitan
menghindari serangannya. Pada saat yang tepat, Kukuban melayangkan
sebuah tendangan keras kaki kirinya ke arah Giran. Giran yang tidak
mampu lagi menghindar, terpaksa menangkisnya dengan kedua tangannya.
“Aduh, sakit…! Kakiku patah!” pekik Kukuban dan langsung berguling di tanah sambil menjerit kesakitan.
Rupanya, tangkisan Giran itu membuat
kaki kirinya patah. Ia pun tidak mampu lagi melanjutkan pertandingan dan
dinyatakan kalah dalam gelanggang tersebut. Sejak itu, Kukuban merasa
kesal dan dendam terhadap Giran karena merasa telah dipermalukan di
depan umum. Namun, dendam tersebut dipendamnya dalam hati.
Beberapa bulan
kemudian, dendam Kukuban yang dipendam dalam hati itu akhirnya
terungkap juga. Hal itu bermula ketika suatu malam, yakni ketika cahaya
purnama menerangi perkampungan sekitar Gunung Tinjau, Datuk Limbatang
bersama istrinya berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Kedatangan
orangtua Giran tersebut bukan untuk mengajari mereka cara bercocok tanam
atau tata cara adat, melainkan ingin menyampaikan pinangan Giran kepada
Sani.
“Maaf, Bujang Sembilan! Maksud
kedatangan kami kemari ingin lebih mempererat hubungan kekeluargaan
kita,” ungkap Datuk Limbatang.
“Apa maksud, Engku?” tanya si Kudun bingung.
“Iya, Engku! Bukankah hubungan kekeluargaan kita selama ini baik-baik saja?” sambung Kaciak.
“Memang benar yang kamu katakan itu,
Anakku,” jawab Datuk Limbatang yang sudah menganggap Bujang Sembilan
seperti anaknya sendiri.
“Begini, Anak-anakku! Untuk semakin
mengeratkan hubungan keluarga kita, kami bermaksud menikahkan Giran
dengan adik bungsu kalian, Siti Rasani,” ungkap Datuk Limbatang.
“Pada dasarnya, kami juga merasakan hal
yang sama, Engku! Kami merasa senang jika Giran menikah dengan adik
kami. Giran adalah pemuda yang baik dan rajin,” sambut si Kudun.
Namun, baru saja kalimat itu lepas dari mulut si Kudun, tiba-tiba terdengarsuara bentakan yang sangat keras dari Kukuban.
“Tidak! Aku tidak setuju dengan pernikahan mereka! Aku tahu siapa Giran,” seru Kukuban dengan wajah memerah.
“Dia pemuda sombong, tidak tahu sopan santun dan kurang ajar. Dia tidak pantas menjadi suami Sani,” tambahnya.
“Mengapa kamu berkata begitu, Anakku?
Adakah perkataan atau perilakunya yang pernah menyinggung perasaanmu?”
tanya Datuk Limbatang dengan tenang.
“Ada, Engku! Masih ingatkah tindakan
Giran terhadapku di gelanggang perhelatan beberapa bulan yang lalu? Dia
telah mematahkan kaki kiriku dan sampai sekarang masih ada bekasnya,”
jawab Kukuban sambil menyingsingkan celana panjangnya untuk
memperlihatkan bekas kakinya yang patah.
“Oooh, itu!” jawab Datuk Limbatang singkat sambil tersenyum.
“Soal kaki terkilir dan kaki patah,
kalah ataupun menang dalam gelanggan itu hal biasa. Memang begitu kalau
bertarung,” ujar Datuk Limbatang.
“Tapi, Engku! Anak Engku telah mempermalukanku di depan orang banyak,” sambut Kukuban.
“Aku kira Giran tidak bermaksud mempermalukan saudaranya sendiri,” kata Datuk Limbatang.
“Ah, itu kata Engku, karena ingin
membela anak sendiri! Di mana keadilan Engku sebagai pemimpin adat?”
bantah Kukuban sambil menghempaskan tangannya ke lantai.
Semua yang ada dalam pertemuan itu
terdiam. Kedelapan saudaranya tak satu pun yang berani angkat bicara.
Suasana pun menjadi hening dan tegang. Kecuali Datuk Limbatang, yang
terlihat tenang.
“Maaf, Anakku! Aku tidak membela siapa
pun. Aku hanya mengatakan kebenaran. Keadilan harus didasarkan pada
kebenaran,” ujar Datuk Limbatang.
“Kebenaran apalagi yang Engku maksud. Bukankah Giran telah nyata-nyata mencoreng mukaku di tengah keramaian?”
“Ketahuilah, Anakku! Menurut kesaksian
banyak orang yang melihat peristiwa itu, kamu sendiri yang menyerang
Giran yang terdesak dengan sebuah tendangan keras, lalu ditangkis oleh
Giran. Tangkisan itulah yang membuat kakimu patah. Apakah menurutmu
menangkis serangan itu perbuatan curang dan salah?” tanya Datuk
Limbatang.
Kukuban hanya terdiam mendengar
pertanyaan itu. Walaupun dalam hatinya mengakui bahwa apa yang dikatakan
Datuk Limbatang adalah benar, tetapi karena hatinya sudah diselimuti
perasaan dendam, ia tetap tidak mau menerimanya.
“Terserah Engku kalau tetap mau membela
anak sendiri. Tapi, Sani adalah adik kami. Aku tidak akan menikahkan
Sani dengan anak Engku,” kata Kukuban dengan ketus.
“Baiklah, Anakku! Aku juga tidak akan
memaksamu. Tapi, kami berharap semoga suatu hari nanti keputusan ini
dapat berubah,” kata Datuk Limbatang seraya berpamitan pulang ke rumah
bersama istrinya.
Rupanya, Siti Rasani yang berada di
dalam kamar mendengar semua pembicaraan mereka. Ia sangat bersedih
mendengar putusan kakak sulungnya itu. Baginya, Giran adalah calon suami
yang ia idam-idamkan selama ini. Sejak kejadian itu, Sani selalu
terlihat murung. Hampir setiap hari ia duduk termenung memikirkan jalah
keluar bagi masalah yang dihadapinya. Begitupula si Giran, memikirkan
hal yang sama. Berhari-hari kedua pasangan kekasih itu berpikir, namun
belum juga menemukan jalan keluar. Akhirnya, keduanya pun sepakat
bertemu di tempat biasanya, yakni di sebuah ladang di tepi sungai, untuk
merundingkan masalah yang sedang mereka hadapi.
“Apa yang harus kita lakukan, Dik?” tanya Giran.
“Entahlah, Bang! Adik juga tidak tahu
harus berbuat apa. Semua keputusan dalam keluarga Adik ada di tangan
Bang Kukuban. Sementara dia sangat benci dan dendam kepada Abang,” jawab
Sani sambil menghela nafas panjang.
Beberapa lama mereka berunding di tepi
sungai itu, namun belum juga menemukan jalan keluar. Dengan perasaan
kalut, Sani beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba sepotong ranting
berduri tersangkut pada sarungnya.
“Aduh, sarungku sobek!” teriak Sani kaget.
“Wah, sepertinya pahamu tergores duri. Duduklah Adik, Abang akan mengobati lukamu itu!” ujar Giran.
Giran pun segera mencari daun
obat-obatan di sekitarnya dan meramunya. Setelah itu, ia membersihkan
darah yang keluar dari paha Sani, lalu mengobati lukanya. Pada saat
itulah, tiba-tiba puluhan orang keluar dari balik pepohonan dan segera
mengurung keduanya. Mereka adalah Bujang Sembilan bersama beberapa warga
lainnya.
“Hei, rupanya kalian di sini!” seru Kukuban.
Giran dan Sani pun tidak tahu harus
berbuat apa. Keduanya benar-benar tidak menyangka jika ada puluhan orang
sedang mengintai gerak-gerik mereka.
“Tangkap mereka! Kita bawa mereka ke sidang adat!” perintah Kukuban.
“Ampun, Bang! Kami tidak melakukan apa-apa. Saya hanya mengobati luka Sani yang terkena duri,” kata Giran.
“Dasar pembohong! Aku melihat sendiri kamu mengusap-usap paha adikku!” bentak Kukuban.
“Iya benar! Kalian telah melakukan
perbuatan terlarang. Kalian harus dibawa ke sidang adat untuk dihukum,”
sambung seorang warga.
Akhirnya, Giran dan Sani digiring ke
kampung menuju ke ruang persidangan. Kukuban bersama kedelapan
saudaranya dan beberapa warga lainnya memberi kesaksian bahwa mereka
melihat sendiri perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Giran dan Sani.
Meskipun Giran dan Sani telah melakukan pembelaan dan dibantu oleh Datuk
Limbatang, namun persidangan memutuskan bahwa keduanya bersalah telah
melanggar adat yang berlaku di kampung itu. Perbuatan mereka sangat
memalukan dan dapat membawa sial. Maka sebagai hukumannya, keduanya
harus dibuang ke kawah Gunung Tinjau agar kampung tersebut terhindar
dari malapetaka.
Keputusan itu pun diumumkan ke seluruh
penjuru kampung di sekitar Gunung Tinjau. Setelah itu, Giran dan Sani
diarak menuju ke puncak Gunung Tinjau dengan tangan terikat di belakang.
Sesampainya di pinggir kawah, mata mereka ditutup dengan kain hitam.
Sebelum hukuman dilaksanakan, mereka diberi kesempatan untuk berbicara.
“Wahai kalian semua, ketahuilah! Kami
tidak melakukan perbuatan terlarang apa pun. Karena itu, kami yakin
tidak bersalah,” ucap Giran.
Setelah itu, Giran menengadahkan kedua tanganya ke langit sambil berdoa.
“Ya Tuhan! Mohon dengar dan kabulkan doa
kami. Jika kami memang benar-benar bersalah, hancurkanlah tubuh kami di
dalam air kawah gunung yang panas ini. Akan tetapi, jika kami tidak
bersalah, letuskanlah gunung ini dan kutuk Bujang Sembilan menjadi ikan!”
Usai memanjatkan doa, Giran dan Sani
segera melompat ke dalam kawah. Keduanya pun tenggelam di dalam air
kawah. Sebagian orang yang menyaksikan peristiwa itu diliputi oleh rasa
tegang dan cemas. Jika Giran benar-benar tidak bersalah dan doanya
dikabulkan, maka mereka semua akan binasa. Ternyata benar. Permohonan
Giran dikabulkan oleh Tuhan. Beberapa saat berselang, gunung itu
tiba-tiba bergetar dan diikuti letusan yang sangat keras. Lahar panas
pun menyembur keluar dari dalam kawah, mengalir menuju ke perkampungan
dan menghancurkan semua yang dilewatinya. Semua orang berusaha untuk
menyelamatkan diri. Namun, naas nasib mereka. Letusan Gunung Tinjau
semakin dahsyat hingga gunung itu luluh lantak. Tak seorang pun yang
selamat. Bujang Sembilan pun menjelma menjadi ikan.
Demikian cerita Asal usul Danau Maninjau dari Agam, Sumatra Barat, Indonesia. Konon, letusan
Gunung Tinjau itu menyisakan kawah yang luas dan lama-kelamaan berubah
menjadi danau. Oleh masyarakat sekitar, nama gunung itu kemudian
diabadikan menjadi nama danau, yakni Danau Maninjau. Sementara nama-nama
tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu diabadikan menjadi nama nagari
di sekitar Danau Maninjau, seperti Tanjung Sani, Sikudun, Bayua, Koto
Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, Balok, Kukuban, dan Sungai Batang.
Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam
kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik, yaitu
akibat buruk yang ditimbulkan oleh sifat dendam. Dendam telah menjadikan
Kukuban tega menfitnah Giran dan Sani telah melakukan perbuatan
terlarang. Dari hal ini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat
dendam dapat mendorong seseorang berbuat aniaya terhadap orang lain,
demi membalaskan dendamnya. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat dendam
ini sangat dipantangkan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
siapa tak tahu kesalahan sendiri,lambat laun hidupnya keji
kalau suka berdendam kesumat,
alamat hidup akan melara
Sebuah peristiwa atau kejadian
memungkinkan HP kita mengalami hal hal yang tidak diinginkan. Salah satu
masalah yang sering dialami HP adalah kemasukan air atau tercebur ke
dalam air yang jika tidak diantisipasi dengan tepat akan menyebabkan
kerusakan yang cukup parah bahkan mati total. Agar hal buruk tersebut
tidak kita alami, maka artikel ini akan membahas tentang cara tepat mengatasi HP yang tercebur ke air.
1. Tetap tenang
Saat HP jatur atau tercebur ke air,
sebaiknya Anda jangan langsung panik dan tergesa gesa melakukan hal yang
sebaiknya dihindari. Langkah pertama untuk mengatasi HP yang tercebur ke air
adalah tetap tenang dan ambil HP tersebut dengan hati hati. Pastikan
tidak ada sambungan listrik yang bisa memungkinkan Anda mengalami
sengatan listrik.
2. Matikan HP dan buka baterai
Jika HP tercebur dalam waktu yang
singkat, mungkin air tidak akan mencapai bagian dalam seperti sirkuit
dan IC hardware. Cara mengatasi HP yang tercebur seperti demikian cukup
dimatikan terlebih dahulu dan buka baterainya agar tidak terjadi
korsleting listrik, lepaskan juga kartu SIM dan kartu memori yang
terpasang. Setelah itu keringkan dengan menggunakan lap kering dan
menjemurnya di bawah sinar matahari langsung. Jika dirasa sudah cukup,
maka pasang kembali HP dan coba nyalakan, apabila HP bisa beroperasi
seperti biasa, maka hal tersebut sudah bisa diantisipasi, namun jika HP
tidak hidup, maka ada kemungkinan terjadinya korsleting listrik di
bagian sirkuit. Kalau itu terjadi, maka tindakan yang paling tepat
adalah dengan membawanya ke pusat service hardware.
3. Rendam di dalam beras
Beras adalah benda yang sangat efektif
dalam menyerap cairan dan membuat benda benda lain di sekitarnya mudah
kering. Agar HP yang tercebur ke air bisa dikeringkan secara alami, maka
cobalah untuk merendamnya dalam beras selama kurang lebih 30 menit.
Cara ini bisa menyerap air di sela sela yang tidak bisa dijangkau oleh
kain lap.
4. Hindari hair dryer
Salah satu cara keliru dalam mengatasi HP yang tercebur ke air
adalah penggunaan hair dryer. Walaupun maksud awalnya adalah ingin
mengeringkan HP, namun cara ini sangat bahaya karena bisa merusak
komponen dan sirkuit HP akibat panas yang ditimbulkan. Langkah paling
baik yang bisa dicoba untuk mengeringkan adalah dengan menggunakan
vacuum cleaner, karena alat ini bisa menyedot cairan atau debu tanpa
memanaskan komponennya.
Demikianlah beberapa cara mengatasi HP yang tercebur ke air. Semoga bermanfaat dan selamat mencoba
Kecelakaan
travel Bumi Minang Wisata (BMW) 2000 di Kayu Tanam, Padang Pariaman,
Selasa 1 Juli 2014 sekitar pukul 06.00 WIB pagi menewaskan seluruh
penumpangnya.
"Seluruh yang ada di minibus itu tewas di TKP," ujar Kapolres Padang Pariaman, AKBP Taufik Ismail.
Dalam minibus warna putih dengan nomor polisi BM 7522 DW itu terdapat seorang sopir dan 7 penumpang. Mereka tewas akibat tubrukan yang cukup keras. Saat ini jenazah tengah diidentifikasi di Puskesmas Kayu Tanam dan Sicincin.
Salah seorang saksi mata, Putra (28) mengatakan, saat itu travel yang dikemudikan Ismail melaju kencang dari arah Bukittinggi. Saat melaju di kilometer 56,8 Kayu Tanam, travel itu berupaya menghindari truk yang tengah parkir.
Hanya saja di saat bersamaan muncul Daihatsu Grand Max dari arah berlawanan, sehingga sempat terjadi senggolan antara kedua minibus itu. Akibatnya travel Mitsubishi Star Wagon itu tak terkendali, dan menabrak bagian belakang truk hingga "nyungsep" ke kolongnya.
Berikut nama-nama korban kecelakaan di Kayu Tanam:
- Edi Iswandi (44) warga Tunggul Hitam, Padang
- Edo Bahari (21) mahasiswa asal Pekanbaru, Riau
- Meiza Sartika (22) mahasiswa warga Lubuk Buaya, Padang.
- Marza Yelita (55) warga Lubuk Buaya, Padang
- M. Iqbal (20) mahasiswa warga Pekanbaru, Riau
- Zaza (12), warga Tunggul hitam, Padang
- Wawa (8), Warga Tunggul Hitam, Padang
- Ismail (34) warga Jati, Padang (sopir)
"Seluruh yang ada di minibus itu tewas di TKP," ujar Kapolres Padang Pariaman, AKBP Taufik Ismail.
Dalam minibus warna putih dengan nomor polisi BM 7522 DW itu terdapat seorang sopir dan 7 penumpang. Mereka tewas akibat tubrukan yang cukup keras. Saat ini jenazah tengah diidentifikasi di Puskesmas Kayu Tanam dan Sicincin.
Salah seorang saksi mata, Putra (28) mengatakan, saat itu travel yang dikemudikan Ismail melaju kencang dari arah Bukittinggi. Saat melaju di kilometer 56,8 Kayu Tanam, travel itu berupaya menghindari truk yang tengah parkir.
Hanya saja di saat bersamaan muncul Daihatsu Grand Max dari arah berlawanan, sehingga sempat terjadi senggolan antara kedua minibus itu. Akibatnya travel Mitsubishi Star Wagon itu tak terkendali, dan menabrak bagian belakang truk hingga "nyungsep" ke kolongnya.
Berikut nama-nama korban kecelakaan di Kayu Tanam:
- Edi Iswandi (44) warga Tunggul Hitam, Padang
- Edo Bahari (21) mahasiswa asal Pekanbaru, Riau
- Meiza Sartika (22) mahasiswa warga Lubuk Buaya, Padang.
- Marza Yelita (55) warga Lubuk Buaya, Padang
- M. Iqbal (20) mahasiswa warga Pekanbaru, Riau
- Zaza (12), warga Tunggul hitam, Padang
- Wawa (8), Warga Tunggul Hitam, Padang
- Ismail (34) warga Jati, Padang (sopir)