- Home >
- ASAL PERTAMA MANUSIA
Posted by : Unknown
Selasa, 19 Agustus 2014
ASAL PERTAMA MANUSIA
Terdapat dua versi dalam sejarah pertama asal muasal manusia
Terdapat dua versi dalam sejarah pertama asal muasal manusia
Veris Pertama
Perdebatan akan asal-usul manusia atau bahkan kehidupan makhluk hidup di
muka bumi ini masih menjadi tanda tanya besar dan diskusi panjang yang
tiada habisnya. Beberapa teori ilmiah telah mencoba untuk menjawab itu
semua. Akan tetapi terus mengalami keraguan dan kesangsian setelah diuji
seiring perubahan waktu yang menjadikannya tidak dapat diterima lagi.
Salah satunya adalah teori evolusi yang ditelorkan oleh Darwin. Konsep
kehidupan yang, menurutnya, berawal dari satu spesies hingga memunculkan
beragam makluk hidup seperti sekarang ini. Termasuk adanya manusia
sebagai makluk yang paling cerdik.
Disisi lain, sejarah penciptaan manusia
sebenarnya telah melegenda. Berawal dari satu manusia laki-laki dan
satu manusia perempuan yaitu Adam dan Hawa. Sebagaimana diinfomasikan
oleh dogma agama-agama besar (Yahudi, Nasrani dan Islam). Hingga pada
abad ini telah melahirkan (memunculkan) lebih dari 6 miliar manusia.
Tersebar di segala penjuru dunia. Dari cerita ini, banyak manusia yang
percaya begitu saja, walaupun memang ada hal-hal yang sedikit tidak
masuk akal. Penjelasan singkat dan ringkas yang dianggap cukup dan tidak
adanya kekritisan umat dalam beragama.
Diantaranya ialah bahwa Adam diciptakan oleh Tuhan dari tanah liat yang
dibentuk semisal sebuah boneka. Kemudian ditiupkan kepadanya ruh. Maka
jadilah Adam manusia dewasa yang hidup seketika itu juga. Selanjutnya di
tempatkan di dalam surga. Tapi Adam merasa kesepian karena hanya
seorang diri. Maka Tuhan pun menjadikan calon istrinya – Hawa. Caranya,
Tuhan mengambil salah satu tulang rusuk Adam. Dari tulang rusuk Adam
itulah kemudian tercipta Hawa sebagai manusia dewasa yang hidup.
Tak heran, cerita akan hal itu semua bertebaran dengan sangat bebas dan
beragama. Mulai dari yang bersifat doktrin, tafsir, dongeng, legenda
hingga pada penelusuran yang bersifat ilmiah. Dibandingkan dengan
berbagai makhluk lainnya, manusia memang sangat istimewa. Manusia yang
benar-benar menjadi aktor utama dalam kehidupan di jagat raya ini.
Pemimpin kolektif atas segala fasilitas kehidupan yang telah tersedia
secara ajaib di planet yang sangat istimewa pula ini.
Dalam serial diskusi tasawwuf modern kali ini, Agus Mustafa kembali
mengahadirkan buku yang sangat (selalu) kontrovesial. Tidak main-main,
beliau memberikan nama judul bukunya dengan “Ternyata Adam Dilahirkan”.
Menjadikan simpang siur pemahaman tentang penciptaan Adam meskipun
sama-sama bersumber pada Al-Qur’an (kita suci umat Islam). Menurut
penulis buku ini, kebanyakan umat Islam tidak mengambil ayat-ayat
Al-Qur’an secara utuh dan holistik yang akhirnya memunculkan pemahaman
yang sepotong-potong.
Pembahasan di dalam buku ini, Agus Mustafa, mengajak seluruh pembaca
untuk kembali membuka tirai gelap proses penciptaan Adam dan Hawa yang
juga tertuang dalam Al-Qur’an. Dengan harapan tidak bersikap apriori
terlebih dahulu terhadap sudut pandang baru (”negatif”) dalam memahami
hal ini. Pemahaman akan Al-Qur’an yang kebenarannya tidak diragukan lagi
seraya dibuktikan pula dengan penemuan-penemuan ilmiah termuktahir yang
selama ini justru diperoleh oleh ilmuwan-ilmuwan non-muslim.
Tidak dapat terelakkan lagi memang, perdebatan sengit seputar asal-usul
kehidupan makhluk hidup tidak akan pernah padam sepanjang sejarah
manusia masih terus berlangsung. Akan tetapi setidaknya akan terus hanya
terdapat dua kelompok besar dalam hal ini. Pertama adalah kelompok
agamawan dan yang kedua adalah kelompok ilmuwan. Pada masing-masing
kelompok juga tentunya terbagi dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil.
Dikalangan umat Islam sendiri misalnya, juga masih belum ada kesepakatan
tentang hal ini. Secara umum, kebanyakan umat Islam memiliki pandangan
bahwa Allah menciptakan manusia pertama dari tanah dengan mengucapkan
“kun“. Maka seketika itu pula terciptalah Adam. Sedangkan Hawa
(istrinya) diciptakan dari tulang rusuk dari dirinya yang kemudian
diucapkan pula oleh Allah “kun“.
Padahal, hasil penelusuran penulis buku ini, Al-Qur’an tidak pernah
menyebut bahwa Adam sebagai manusia pertama dan Hawa manusia kedua yang
diciptakan setelah Adam. Banyak ayat dalam Al-Qur’an jutsru memberi
indikasi kuat bahwa Adam dan Hawa adalah salah satu dari sekian banyak
species manusia yang telah ada pada waktu itu. Misalnya dalam QS.
Al-A’Raaf (7) ayat 10-11. begitu pula dalam QS. Ali Imran (3) ayat 33
dan masih banyak lagi dalam beberapa ayat-ayat lainnya.
Dari sini, sesungguhnya para pembaca kembali digugah kekritisannya dan
juga dituntut untuk terus mendiskusikan akan asal usul pencipataan
manusia sebagaimana Al-Qur’an telah memberikan “sinyal-sinyal” yang
tentunya menjadikan penasaran berat. Dan yang menarik, perkembangan ilmu
pengetahuan manusia semakin lama semakin mendekati “tirai pembatas”
kaburnya sejarah manusia itu sendiri.
Sebagaimana sejarah penciptaan manusia sendiri ternyata telah terekam
dalam DNA sebagai penyusun genetikanya. Dari sanalah misteri penciptaan
“manusia pertama” akan mulai terbongkar kembali. Dengan kebenaran
ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak ada keranguan didalamnya serta dukungan
hasil penelitian ilmiah termuktahir, manusia bakal bertemu dengan sebuah
surprise tentang sejarah “drama superkolosal” di planet biru ini.
Versi Kedua
Catatan dari ‘Eden In The East, The Drowned Continent’ karya Stephen
OppenheimerPara ahli sejarah umumnya berpendapat bahwa Asia Tenggara
adalah kawasan ‘pinggir’ dalam sejarah peradaban manusia. Dengan kata
lain, peradaban Asia Tenggara bisa maju dan berkembang karena
imbas-imbas migrasi, perdagangan, dan efek-efek yang disebabkan
peradaban lain yang digolongkan lebih maju seperti Cina, India, Mesir,
dan lainnya. Buku Eden In The East yang ditulis Oppenheimer seolah
mencoba menjungkirbalikkan pendapat meinstream tersebut.
Oppenheimer mengemukakan pendapat bahwa justru peradaban-peradaban maju
di dunia merupakan buah karya manusia yang pada mulanya menghuni kawasan
yang kini menjadi Indonesia. Oppenheimer tidak main-main dalam
mengemukakan pendapat ini. Hipotesisnya disandarkan kepada sejumlah
kajian geologi, genetik, linguistik, etnografi, serta arkeologi.Gagasan
diaspora manusia dari kawasan Asia Tenggara dicoba untuk direkonstruksi
dari peristiwa di akhir zaman es (Last Glacial Maximum) pada sekitar
20.000 tahun yang lalu. Pada saat itu, permukaan laut berada pada
ketinggian 150 meter di bawah permukaan laut di zaman sekarang.
Kepulauan Indonesia bagian barat, masih menyatu dengan benua Asia
sebagai sebuah kawasan daratan maha luas yang disebut Paparan Sunda.
Ketika perlahan-lahan suhu bumi memanas, es di kedua kutub bumi mencair
dan menyebabkan naiknya permukaan air laut, sehingga timbul banjir
besar. Penelitian oseanografi menunjukan bahwa di Bumi ini pernah tiga
kali terjadi banjir besar pada 14.000, 11.000, dan 8.000 tahun yang
lalu. Banjir yang terakhir adalah peristiwa yang menyebabkan kenaikan
permukaan air laut hingga setinggi 8-11 meter dari tinggi permukaan
asalnya. Banjir tersebut mengakibatkan tenggelamnya sebagian besar
kawasan Paparan Sunda hingga terpisah-pisah menjadi pulau-pulau yang
kini kita kenal sebagai Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Bali.
Oppenheimer mengemukakan bahwa saat itu, kawasan Paparan Sunda telah
dihuni oleh manusia dalam jumlah besar. Karena itulah, menurutnya,
hampir semua kebudayaan dunia memiliki tradisi yang mengisahkan cerita
banjir besar yang menenggelamkan sebuah daratan. Kisah-kisah semacam
banjir Nabi Nuh as, olehnya dianggap sebagai salah satu bentuk transfer
informasi antar generasi manusia tentang peristiwa mahadahsyat tersebut.
Menurut Oppenheimer, setelah terjadinya banjir besar tersebut, menusia
mulai menyebar ke belahan bumi lainnya. Oppenheimer menyatakan bahwa
hipotesisnya ini disokong oleh rekonstruksi persebaran linguistik
terbaru yang dikemukakan Johanna Nichols. Nichols memang mencoba
mendekonstruksi persebaran bahasa Austronesia. Sebelumnya, Robert Blust
(linguis) dan Peter Bellwood (arkeolog) menyatakan bahwa persebaran
bahasa-bahasa Austronesi a berasal dari daratan Asia ke Formosa (Taiwan)
dan Cina Selatan (Yunnan) sebelum sampai ke Filipina, Indonesia,
kepulauan Pasifik dan Madagaskar. Nichols menyatakan konstruksi yang
terbalik di mana bahasa-bahasa Austronesia menyebar dari
Indonesia-Malaysia ke kawasan-kawasan lainnya dan menjadi induk dari
bahasa-bahasa dunia lainnya.
Oppenheimer berkeyakinan bahwa penduduk Malaysia, Sumatera, Jawa, dan
Kalimantan dewasa ini adalah keturunan dari para penghuni Paparan Sunda
yang tidak hijrah setelah tenggeamnya sebagian kawasan tersebut. Dengan
kata lain, ia hendak mengemukakan bahwa persebaran manusia di dunia
berasal dari kawasan ini.
Pendapatnya ia perkuat dengan mengemukakan analisa tentang adanya
kesamaan benda-benda neolitik di Sumeria dan Asia Tenggara yang
diketahui berusia 7.500 tahun. Kemudian ciri fisik pada patung-patung
peninggalan zaman Sumeria yang memiliki tipikal wajah lebar
(brachycepalis) ala oriental juga memperkuat hipotesis tersebut.
Oppenhimer juga yakin bahwa tokoh dalam kisah Gilgamesh yang dikisahkan
sebagai satu-satunya tokoh yang selamat dari banjir besar adalah
karakter yang sama dengan Nabi Nuh as dalam kitab Bible dan Qur’an yang
tak lain adalah karakter yang berhasil menyelamatkan diri dari banjir
besar yang menenggelamkan paparan Sunda. Legenda Babilonia tua
mengisahkan pula kedatangan tujuh cendekiawan dari timur yang membawa
keterampilan dan pengtahuan baru. Kisah yang sama terdapat pula di dalam
India kuno di Hindukush. Varian legenda semacam ini pun ternyata
tersebar di kepulauan Nusantara dan Pasifik.
Oppenheimer lebih lanjut mengemukakan bahwa kisah yang serupa dengan
kisah penciptaan Adam dan Hawa serta pertikaian Kain dan Abel (Qabil dan
Habil) ternyata dapat ditemukan di kawasan Asia Timur dan Kepulauan
Pasifik. Misalnya orang Maori di Selandia Baru, menyebut perempuan
pertama dengan nama ‘Eeve’. Kemudian di Papua Nugini, kisah yang serupa
dengan Kain dan Abel ada dalam wujud Kullabop dan Manip. Tradisi-tradisi
di kawasan ini juga mengemukakan bahwa manusia pertama di buat dari
tanah lempung yang berwarna merah.
Atas dasar berbagai hipotesis tersebut pula, Oppenheimer meyakini bahwa
Taman Eden yang disebut-sebut dalam Bible ada di Paparan Sunda.
Berbicara tentang Hipotesis Oppenheimer ini, saya juga jadi teringat
salah satu ayat dalam Kitab Genesis yang dengan jelasmenyebut bahwa Eden
ada di Timur. Mungkinkah Taman Eden memang berlokasi di Indonesia? Dan
Manusia Pertama pun ditempatkan Tuhan di Indonesia.